NTT's traditional culiner - SEI


Beberapa menit yang lalu, saya memiliki keinginan untuk memperkenalkan makanan tradional favorit daerah asalku NTT yaitu SEI kepada pacarku. namun, berhubung niat untuk mengolah bahasa sendiri tentang SEI dan merangkumkannya sebagai penjelasan kepada pacarku sedang minim, maka dengan senang hati saya pun berniat untuk meng copy-paste saja data mengenai SEI yang sudah ada dari penulis terdahulu yang cinta akan NTT ini. benar saja banyak penjelasan yang saya temukan mengenai SEI saat searching di google. dan saya ambil untuk di forward di sini penjelasan tentang SEI tadi.
heiy pacar....,,,baca nih...
ini loh SEI...kapan2 kita berkunjung ke kampung halaman, saya ajak deh untuk nyicipi..
untuk sekarang cukup dibayangkan dulu yahh...heheheeheeee....
"Sei" Kupang Menggoda Rasa Lidah sampai Australia
Penulis : | Senin, 12 Oktober 2009 | 15:36 WIB



KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Hidangan daging sei yang diasapi di Rumah Makan Sei Petra di Jalan Bundaran Peu, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/10). Pengunjung rumah makan tersebut dapat menikmati hidangan daging sei, nasi, kuah sei, dan minuman.
Oleh KORNELIS KEWA AMADaging sei begitu populer di kalangan masyarakat Kupang dan Provinsi Nusa Tenggara Timur umumnya. Daging yang diasapi itu sejak 1986 mulai merasuki rasa lidah dan hasrat sejumlah warga Kota Kupang sampai para tamu dari luar negeri. Sei menjadi makanan khas, bahkan sejak beberapa tahun terakhir dilirik pengusaha dari Australia.

Sei, bahasa daerah Rote, artinya daging yang disayat dalam ukuran kecil memanjang, lalu diasapi dengan bara api sampai matang. Sei adalah makanan khas suku Rote yang kemudian merambah selera masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dari tahun 1981 hingga 2006 hanya terdapat satu rumah makan (RM) daging sei di Baun, 25 kilometer (km) arah utara Kota Kupang. Pada tahun 2007 muncul lagi satu RM Sei Petra di Oebufu, Kota Kupang. Warung makan ini setiap hari, dari pukul 09.00 hingga pukul 16.00 Wita, dipadati masyarakat Kota Kupang dan tamu-tamu dari luar.

Pemilik RM Sei Petra, Helda Manafe Pellondou (37), di Kupang, Sabtu (10/10), mengatakan, bahan baku sei biasanya daging babi atau sapi. Namun, mayoritas masyarakat NTT lebih suka mengonsumsi sei babi, maka sei babi menjadi pilihan utama. Mereka menilai lemak daging sapi lebih berbahaya bagi kesehatan dibanding lemak babi.

”Di RM Petra ini setiap hari saya potong tiga ekor babi dengan berat keseluruhan 100 hingga 150 kilogram. Sampai pukul 16.00 Wita, semua daging sei itu terjual habis. Hari Natal dan Tahun Baru, babi yang dibutuhkan sampai 10 ekor, dengan berat masing-masing 40 hingga 70 kilogram,” kata Helda.

Harga satu porsi sei babi dan nasi Rp 12.000, sementara 1 kg sei babi Rp 100.000. Biasanya, para konsumen datang dalam kelompok, dari anak-anak sampai orangtua, dari masyarakat kampung hingga orang berdasi.

Selain makan, mereka juga membeli untuk anggota keluarga di rumah atau oleh-oleh bagi keluarga atau teman di luar NTT. Setiap warga baru selalu kembali dari Kupang membawa oleh-oleh sei itu. Sei itu bertahan sampai tiga hari, tetapi jika dalam alat pembeku bisa bertahan sampai beberapa bulan.

Sei sapi biasanya disediakan khusus CV Aldia yang memiliki tiga toko penjualan sei, termasuk di Bandara Kupang. CV Aldia menyediakan puluhan segmen daging, seperti sei, daging segar, kulit, bakso, tulang, dan jeroan. Aldia tidak menyediakan sei asap dalam jumlah banyak, kecuali daging dan tulang segar. Aldia telah mendapat sertifikat halal dari MUI pada 2007.

Menurut Helda, jumlah tenaga yang dipekerjakan 20 orang, tetapi jumlah itu masih kurang sehingga warung Petra tidak buka sampai malam. Sumber daya pekerja masih rendah, semua urusan, dari belanja bumbu sampai proses pengasapan, pun tetap dikontrol Helda.

”Saya lulusan sekolah kepandaian putri di Kupang, yang antara lain memperkenalkan masakan tradisional dari beberapa daerah, termasuk masakan khas Rote, yakni sei babi atau sapi. Sei ini tidak asing bagi masyarakat Kota Kupang atau masyarakat Rote. Saya hanya meningkatkan dengan memadukan beberapa jenis bumbu dan cara memasaknya,” kata Helda.

Ibu tiga putra ini mengaku masih berkonsentrasi pada RM Petra, sambil mencari peluang membuka warung makan serupa di lokasi lain di Kota Kupang. Setelah sukses di Kupang, ia akan membuka beberapa warung makan sei di kabupaten lain, seperti Kefamenanu, Atambua, Baa, Soe, Ende, Maumere, dan Larantuka.

Selain itu, beberapa pengusaha dari Surabaya memintanya mengirim setiap hari sei babi 50 kg khusus untuk kompleks permukiman China. Demikian pula pengusaha NTT di Batam, mengajaknya membuka warung makan sei di Batam.

Akhir September 2008, Helda didatangi pengusaha dari Australia, setelah sebelumnya orang Australia itu mencicipi sei di RM Petra milik Helda. Pengusaha itu mengajak Helda membuka usaha sei babi di Darwin, tetapi ia berkeberatan. Pengusaha Australia itu kemudian menawarkan kerja sama dengan Helda, yaitu membuka peternakan babi di Kupang. Daging sei yang dikelola atas kerja sama pengusaha Australia itu dikirim ke sejumlah warung makan di Australia. Namun, tawaran itu belum dilayani Helda.

Istri Ande Manafe (40) ini mengatakan, campuran bumbu sama seperti jenis masakan pada umumnya, hanya sei atau babi ditambah madu Timor sehingga terasa lebih gurih, manis, dan lezat. Cara mengasapi sei pun hanya menggunakan kayu kusambi selama 5-9 jam.

Anton Nope (33), pekerja di RM Sei Baun, mengatakan, tiap hari RM Sei Baun memotong 16 ekor babi dengan berat 30-70 kg per ekor. Masakan RM Sei Baun sebagian besar dikirim ke pelanggannya yang memesan, termasuk warga di Surabaya.

”Orang mengatakan sei itu dibakar, tetapi sesungguhnya diasapi sehingga rasanya gurih, lezat, dan nikmat,” kata Nope.
Sumber :
Kompas Cetak

Post a Comment